Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit: Struktur Transformasi Agama Orang Toraja di Mamasa, Sulawesi Barat (Power of Blessing from the Wilderness and from Heaven: Structure and Transformations in the religion of the Toraja in the Mamasa area of South Sulawesi) Penulis: Kees Buijs | Penerjemah: Ronald Arulangi | Ininnawa-KITLV-Jakarta | November 2009 | Halaman: 337 + vi | Rp59.000,-

Para perempuan lari dari kampungnya malam itu, masuk hutan seraya berteriak dan menanggalkan pakaian. Dalam keadaan kerasukan roh-roh hutan belantara, mereka naik pohon beringin, barana’, dan menari di atas dahannya hingga dinihari. Ritual perempuan itu menjadi salah satu ritual sangat menarik yang diberi perhatian dalam buku ini. Orang Toraja hidup di kawasan pegunungan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Akar-akar agama tua mereka, aluk toyolo, berasal dari masa sebelum agama Hindu dan Agama Buddha masuk di Indonesia sekitar 1500 tahun lalu. Aluk Toyolo memiliki ciri-ciri yang berhubungan dengan perbedaan antara unsur-unsur perempuan dan laki-laki. Dalam buku ini, beberapa ritual tua diurai rinci, seperti ritual berburu kepala, ritual naik pohon barana’, dan ritual kesuburan. Begitu pula dengan ritual lain yang terkait kelahiran, pernikahan, dan kematian diberi perhatian, terutama dimana mereka memperlihatkan perubahan-perubahan terkait fokus yang terdapat dalam agama. Dulu dewa-dewa langit bersama dengan para dewa di bumi diharapkan memberkati pelaksana ritual-ritual, sekarang unsur dewa-dewa di bumi hampir tidak ada lagi. Transformasi ke arah langit bersama latar belakangnya diberi banyak perhatian dalam buku ini. Kees Buijs (1944) pernah bekerja di Sulawesi dalam bidang pembinaan warga Gereja Toraja Mamasa. Di samping melaksanakan tugas di gereja, dia juga mengumpulkan banyak data antropologi agar kebudayaan Toraja Mamasa dapat disimpan dan dianalisa. Sebagai hasil studi antropologi tesisnya dipertahankan di Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 2004 dengan Judul Power of Blessing from the Wilderness and from Heaven.[]

Buku yang disajikan oleh Susan Bolyard Millar ini merupakan sebuah bentuk ketekunan, ketelitian, dan kesabaran yang sangat luar biasa. Susan mampu menyusun proses perkawinan Bugis dan menjelaskan lima proses dalam perkawian Bugis: (1) Pelamaran, (2) Pertunangan, (3) Pernikahan, (4) Pesta Perkawinan, dan (5) Pertemuan Resmi Berikutnya. Yang kesemuanya itu dilandaskan pada prinsip dan tata cara adat.
Membongkar serta mendesain kembali tentang nilai-nilai budaya yang terdapat dalam prosesi perkawinan Bugis, dan penulis juga berhasil mengangkat ke permukaan makna-makna yang melekat dalam pernak-pernik pernikahan yang sering dilewatkan begitu saja. Dia juga mengamati posisi duduk, cara menempatkan nama dalam teks undangan, orang-orang yang diundang melakukan ritus tertentu dalam serangkaian ritus panjang pernikahan tersebut, dengan menggunakan pendekatan Semiotik (simbol, ikon, indeks) dan Semantik (makna kata/kalimat), dari tempat khususnya wilayah di mana ia melakukan riset penelitian yakni di Kabupaten Soppeng Sulawesi-Selatan. Soppeng terletak 175 kilometer di kawasan baratdaya Makassar.
Di dalam buku ini pula, disajikan dengan berbagai macam aspek-aspek yang terjadi sebelum dan sesudah prosesi ritual perkawinan yang dilakukan suku Bugis, khususnya di Kabupaten Soppeng. Bukan hanya itu saja, ia juga memaparkan dengan berbagai macam peran orang yang diamanatkan untuk menjalankan prosesi perkawinan tersebut yang dipandang dari aspek budaya, sosial, politik, dan ekonomi.
Proses perkawinan yang dilakukan dengan menitikberatkan pada istilah orang yang dituakan atau Tau Matoa, merupakan bentuk pencapaian seperti apa yang harus ditempuh oleh calon pengantin yang disesuaikan dengan bentuk dan keadaan sosial, ekonomi, dan politik pada saat itu.
Tau Matoa juga memiliki peran sentral yang dipandang dari aspek keturunan (penentuan generasi), terbukti Tau Matoa selalu memiliki pewaris. Artinya bisa saja anak atau keponakan Tau Matoa sebelumnya. Tau Matoa yang paling berpengaruh adalah seorang bangsawan yang menikah dengan bangsawan kelas atas. Karena itu, dalam budaya Bugis dapat dikatakan bahwa sifat-sifat unggul diwariskan secara turun-temurun kepada generasi berikutnya.
Sehingga Susan berasumsi bahwa sejarah Sulawesi Selatan adalah sejarah tentang seberapa besar jaringan Tau Matoa, seberapa besar mereka memelihara kualitas keturunan dengan pernikahan serumpun, serta seberapa besar mereka menjaga pertalian kerabat dengan mendorong perkawinan serumpun (endogami) kepada para pengikutnya serta merangkul kekuatan baru dengan strategi perkawinan dengan orang luar (eksogami) dengan rival sesama Tau Matoa atau dengan orang luar yang dapat mendatangkan keuntungan baik dalam bidang usaha, ekonomi, pemerintahan, atau pertahanan.
Susan juga menjelaskan bagaimana kuasa politik dipertahankan berlangsung di Sul-Sel, bagaimana kelompok-kelompok kekuasaan baru terus bermunculan, dan juga bagaimana sistem perkawinan Bugis modern terbentuk dari sistem perkawinan zaman dulu yang bertahan hingga sekarang, yang diulasnya dengan kaitan sejarah etnografi pernikahan, sejarah orang Bugis, pembentukan kerajaan, kerajaan yang muncul pada Abad ke-16 hingga Abad ke-20, revolusi dan pemberontakan pasca-kemerdekaan, kestabilan dalam ketegangan di bawah kekuasaan Orde Baru.
Akan tetapi, semuanya itu menjelma dan terkikis oleh peradaban modern, sampai saat ini. Sehingga budaya, adat-istiadat, dan nilai kesakralan terkikis oleh arus modernisasi, akibatnya, orang-orang (khususnya Bugis-Makassar) tidak lagi mengindahkannya.
Buku ini pula, memberikan sajian tentang tata ruang baru dalam berbagai macam paradigma-paradigma yang dipandang dari aspek sosial, ekonomi, politik, dalam prosesi perkawinan Bugis khususnya di Kabupaten Soppeng Sulawesi-Selatan.

(Nazaruddin, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar)

Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit: Struktur dan Transformasi Agama Orang Toraja di Mamasa Sulawesi Barat
Kees Buijs
Ininnawa-KITLV Jakarta, November 2009
vi + 338 halaman

Toraja, siapa yang tidak mengenal kabupaten ini. Kabupaten yang sekarang mengalami pemekaran menjadi dua wilayah, Kabupaten Tana Toraja dengan ibukota Makale dan Toraja Barat beribukota Rantepao. Toraja adalah daerah yang sangat terkenal dengan budayanya yang unik serta panorama yang sangat indah. Implikasinya, daerah ini ramai dikunjungi wisatawan baik lokal maupun asing. Bahkan pernah ada anekdot yang mengatakan “Tana Toraja lebih dikenal di luar negeri daripada Indonesia sendiri“. Mungkin ini sedikit berlebihan tapi kenyataannya sampai saat ini Tana Toraja merupakan tujuan wisatawan yang sangat digemari.
Mamasa, atau yang dikenal juga dengan sebutan Toraja-Mamasa, mungkin masih asing di telinga para wisatawan lokal dan asing. Salah satu kabupaten termuda yang ada di Sulawesi Selatan ini, tidak kalah menariknya juga dengan Tana Toraja, selain memiliki panorama gunung dan sawah yang menjulang indah, juga memiliki kebudayaan, adat, serta mitologi yang senantiasa melingkupi struktur masyarakat di sana.
Karena daerahnya terisolasi akibat jalan transportasi yang buruk, (lihat hal. 20) sehingga tulisan dan referensi untuk menggambarkan keanekaragaman kultur serta adat di sana sangat sedikit dibanding saudara tuanya, Tana Toraja. Kondisi jalan yang buruk juga berdampak pada masih terpeliharanya tradisi-tradisi dan ritual-ritual lama (lihat hal. 4).
Berangkat dari alasan itulah sehingga penulis merasa tertantang untuk menuliskan aspek tradisi dan ritual-ritual yang kurang mendapat perhatian dari antropolog lainnya (lihat hal. 9). Walau latar belakang penulis yang bukan berasal dari seorang antropolog, melainkan pelayan di suatu gereja Kristen (lihat hal. v) sehingga buku ini memiliki keunggulan, walaupun tidak menjastifikasi bahwa sebagai seorang pelayan, penulis akan memakai kacamata teologisnya membedah isi dari yang tidak tersingkap atas adat-adat tua di Mamasa.
Sebelum mengetahui kuasa dan berkat yang diberikan dari belantara dan langit, buku ini terlebih dahulu menjelaskan detail asal usul orang Toraja-Mamasa, di mana nenek moyang mereka, pongka padang, yang juga merupakan keturunan dewa (tomanurun), melihat ada pergeseran adat yang dibawa tomanurun atas kelompok masyarakat di sana (arruan), lalu mencari daerah baru di sebelah barat Toraja yang tidak didominasi oleh adat tomanurun dan bertemu dengan wanita yang muncul dari air “torijene” dan memiliki 7 anak yang sekarang beranak pinak mendiami seluruh Mamasa.
Tetapi yang menjadi titik fokus dan kekhasan buku ini ialah bagaimana penulis dengan komprehensif mengkaji tradisi tradisi serta ritual ritual yang berlaku serta hubungannya dengan kosmologi yang menjadi kuasa dalam kehidupan; seperti peran mata angin (timur, utara, selatan, barat) sebagai makna simbolik untuk memperkukuh peran dari dewa bumi-langit sebagai otoritas pemberi kuasa dalam kehidupan.
Sebagai contoh, dalam ritual kematian, semuanya diarahkan ke barat. Menarik memang mengetahui bahwa jalan menuju langit dan tempat bersemayamnya leluhur terletak di sebelah barat. Tetapi tidak semua orang bisa untuk mencapai dunia langit, hanya bangsawanlah keturunan dewata-tomanurun yang bisa mencapainya karena ritual-ritual yang menjadi syaratnya dilaksanakan.
Lantas bagaimana nasib orang-orang di luar bangsawan, seperti tana’karurun (orang merdeka) dan tana’ koa koa (budak), setelah dia meninggal? Adakah ritual-ritual alternatif untuk kasta rendah seperti mereka untuk bisa naik ke langit setelah meninggal? Ataukah untuk kelas ini memang tidak ada peluang untuk menikmati alam puya seperti kasta bangsawan rasakan.
Ini yang mungkin lepas dari pengamatan penulis, bagaimana menjelaskan bentuk ritual kematian yang dilakukan oleh kasta bawah ini, sehingga dalam penelitian yang dilakukan kadang hanya berfokus pada kaum bangsawan tana’ bulawan dan menjadikan posisi atau peran kaum bawah menjadi tereduksi. Tidak ada juga kisah di mana kasta bawah yang karna semangat dan kerja kerasnya mampu merubah nasib menjadi lebih baik sehingga secara tidak langsung merubah posisi tawarnya dalam lingkungan masyarakat.
Ada yang menjadi sangat penting juga yang lepas dari pengamatan penulis, di zaman modern seperti ini, pengklasifikasian sudah tidak terlalu nyata, tetapi ini berpengaruh dalam hal-hal tertentu, terutama dalam ritual ritual adat dan interaksi antar-sesama. Seperti penulis katakan, pengklasifikasian masih berlaku pada daerah Tandalangan dan lembah sungai Mamasa. Harusnya penelitian diarahkan kedua daerah yang masih konservatif pada sistem adat, guna melihat fenomena resistensi masyarakat adat melawan arus globalisasi terutama agama-agama atau kepercayaan kepercayaan baru.
Kesuksesan buku ini juga terletak, bagaimana penulis mampu mengklasifikasikan kuasa-kuasa berkat yang dibutuhkan dan tujuan para dewa dalam berkat itu dan pejabat mana yang memimpin ritual tersebut.
Secara jelas penulis membaginya ke dalam empat rangkaian, [1] Pa’bannetauan, yaitu ritual tentang kelahiran dan perkawinan yang ditujukan kepada dewa langit dan bumi dengan wakil pemimpin adat sebagai pemimpin ritual; [2] Pa’toteboyongan, yaitu ritual untuk penanaman padi yang ditujukan kepada dewa padi totiboyong di mana so’bok sebagai pemimpin ritual yang diangkat bisa dari kaum laki laki ataupun perempuan; [3] Pa’tomatean, yaitu ritual kematian yang ditujukan kepada leluhur yang sudah meninggal dan imam tomebalun sebagai pejabat religiusnya; dan [4] Kaparrisan, yaitu pengucapan syukur atas kehidupan di bumi (kekayaan, kesuburan, umur panjang) yang ditujukan kepada dewa bumi dengan pemimpin adat yang biasa disebut toburake.
Namun, sebuah ritual perpisahan mekolong yang tujuannya membalikan perhatian dari keluarga yang berkabung dari kematian kepada kehidupan di bumi dan berkat dari dewa bumi, di mana dipimpin oleh seorang imam perempuan toburake. Kesemuanya dibahas secara detail dan menyeluruh mulai pada tahap pelaksanaan, sesajian atau persembahan yang diperlukan serta apa yang menjadi pantangan pantangan dalam menjalankan ritual ritual tersebut, semuanya dikupas tuntas dalam penjelasan buku ini.

Berkat-berkat yang penting bagi kehidupan di bumi seperti kemakmuran, penyembuhan, dan kesuburan didapat dari dewa bumi yang bermukim di belantara yang tidak dihuni oleh manusia dan dianggap keramat. Dalam ritual ritual yang berkaitan untuk meminta berkat seperti pa’bisiuan di mana yang menjadi imam atau pemimpin ritual adalah toburake yang diambil dari perempuan yang memang punya berkat untuk memimpin ritual dimana pusat ritualnya diadakan di pohon barana. Pohon barana, dalam Indonesia disebut pohon waringin/beringin, dipercaya sebagai tempat menyatunya perempuan dengan dewa-dewa belantara. Ritual pa’bisuan ini adalah suatu nazar yang dibuat hanya oleh perempuan yang tujuannya meminta pertolongan kepada dewa dewa belantara untuk penyembuhan dari sakit keras yang menimpa anaknya, kemiskinan, meminta anak, atau agar anaknya ketika dewasa kelak diberikan kekayaan.
Kalau melihat ritual yang hanya dibolehkan dilakukan di hutan belantara, ini kontras dengan hutan yang saat ini sudah semakin sempit akibat penebangan hutan dan perluasan tempat pemukiman. Tidak adanya suatu fleksibilitas lokasi ritual menjadikan saat ini ritual-ritual lama sudah tereduksi dangan sendirinya. Jadi, sosok dewa dewa bumi yang hidup di hutan belantara secara tidak langsung hilang dan berkat berkat manusia juga hilang. Di sini penulis sedikit lalai melihat hutan itu dalam banyak fungsi untuk kehidupan manusia.
Dalam mengkaji adat atau ritual ritual yang dilakukan di Mamasa banyak sekali terdapat kesamaan dengan budaya Toraja, seperti ritual kematian tertinggi di mana di Toraja dikenal dengan nama dirappa’i sedangkan di Mamasa dikenal diallun; Alam orang yang sudah mati di Toraja dikenal dengan nama puya sedangkan di Mamasa dikenal pallondong; Ungkapan syukur atas bumi di Toraja disebut bua’kasalle sedangkan di Mamasa disebut pa’bisiuan dan banyak lagi.
Ini menandakan bahwa adat, kepercayaan lama serta ritual ataupun asal-usul antara Toraja dan Mamasa sangat dekat dan berhubungan. Tetapi patut diingat pemberian nama Toraja di depan kata Mamasa bisa jadi sesuatu yang keliru. Mengapa demikian? Karena banyak orang Mamasa sendirinya tidak mau disebut sebagai ‘orang Toraja’ tetapi ‘orang Mamasa’. Walaupun rumpun serta persamaan banyak didapatkan antar kedua daerah tersebut.
Khusus dalam proses transformasi kepercayaan lama ke kepercayaan baru, di mana masuknya agama Kristen merubah banyak kepercayaan kepada dewa. Lebih diarahkannya kepercayaan kepada langit sebagai otoritas pemberi berkat menjadikan berkat berkat di bumi melalui dewa dewa bumi dengan sendirinya hilang. Banyak perubahan perubahan ritual yang dahulunya harus dilakukan di dalam hutan belantara diganti dengan ibadah-ibadah dan persekutuan dalam jemaat gereja. Imam imam dalam melakukan ritual seperti toburake dalam ritual pa’bisiuan, mekolong, dan kaparrisan diganti oleh pendeta-pendeta jemaat geraja. Proses transformasi dari kepercayaan lama ke kepercayaan baru ini menjadikan aluk tuyolo sebagai suatu kepercayaan yang identitasnya mulai dilupakan. Walaupun saat ini ritual-ritual tersebut dalam kesempatannya masih tetap dijalankan seperti dalam acara acara kebudayaan atau pertemuan penting tetapi sifat dan konteksnya yang berbeda.
Patut juga bagi penulis melihat fenomena besar yang terjadi saat ini di mana adat dan ritual ritual seperti pembangunan-pembangunan rumah adat serta ukirannya ataupun pada ritual kematian tidak menjadi hak eksklusif bagi orang-orang tertentu saja bangsawan tetapi bisa dilakukan oleh orang-orang yang status sosialnya diubah oleh kekayaan, jabatan, pendidikan atau kuasa yang diperolehnya dalam masyarakat.
Perubahan-perubahan radikal yang terjadi pada pertengahan abad lalu mengakibatkan banyak ritual lama yang tidak lagi dilakukan, meski beberapa ritual tidak lenyap secara total. Haruskah kepercayaan lama di Mamasa harus tetap dilestarikan, sementara kepercayaan baru menolak dengan keras ritual yang ada pada kepercayaan lama atau kepercayaan lama dimodifikasi sesuai dengan tuntutan kepercayaan baru?
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan, buku ini adalah suatu ciptaan yang luar biasa, di mana kajian dan penelitian yang dilakukan oleh penulis sangat detail dan komprehensif mengupas semua proses dari ritual-ritual kepercayaan lama yang ada di Mamasa, mulai dari Mitologi tentang asal-usul orang Mamasa, persiapan yang dilakukan untuk memulai ritual, sesajian atau korban yang diberikan pada saat ritual, imam yang memimpin ritual serta fungsinya, pantangan yang tidak boleh dilakukan pada saat proses ritual atau sesudah ritual dan makna simbol yang menyertainya.
Buku ini wajib dibaca oleh seluruh orang Mamasa ataupun keturunannya, kalangan mahasiswa dan akademisi yang menekuni dan bersimpati pada kajian antropologis, terkhusus budaya Mamasa. Buku ini merupakan satu-satunya buku yang, saya ketahui, sampai saat ini mengkaji secara mendalam tentang kepercayaan-kepercayaan lama dari orang Mamasa.

(Gedion Lebang, Mahasiswa Ilmu Politik Unhas)

Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtenaar: Pengetahuan Simbolik dan Kekuasaan Tradisional Makassar 1300-2000
Thomas Gibson
Ininnawa, Makassar, Mei 2009
341 Halaman

KEMUNCULAN karya ini mencoba menjawab kehausan kepastian sejarah masyarakat yang ingin mengenal banyak tentang kebudayaan Makassar yang secara simpang siur diceritakan oleh nenek moyang.
Thomas Gibson memulai jelajah budaya ini dengan memilah antara pengetahuan praktis dan pengetahuan simbolik, dengan maksud bahwa Gibson mencoba menjelaskan bagaimana proses perolehan simbol-simbol budaya yang terdiri dari upacara hingga hal gaib.
Jelajah geografis yang terbentang dari Tana Towa di sebelah utara hingga wilayah selatan Bira menjadi basis cerita kekayaan budaya Makassar. Buku ini mungkin dapat mementahkan pernyataan tetang kerumitan dalam penelusuran sejarah budaya masyarakat tertentu yang kompleks seperti komunitas Ara, Gibson mencoba menempuhnya melalui pengkajian mendalam dengan memulai pada komunitas tersebut.
Sajian pemikiran Levi Strauss mengawali sekaligus menjadi aspek penjelas relasi pengetahuan praktis dan pengetahuan simbolik, serta mengapa Gibson memilih pengetahuan simbolik suatu masyarakat untuk memahami perkembangan budaya.
Oleh sebab itu, tulisan ini tidak berdiri sendiri, selain menggunakan jendela teoretik, juga menggunakan pemahaman praktis atau interaksi inderawi sejak kecil dari para informan yang dipilih.
Penyebaran orang Austronesia dengan semangat berladang dan distribusi hasil panen melalui lautan menunjukkan kebenaran relasi pemikiran Levi Strauss yang digunakan tentang pengetahuan praktis dan pengetahuan simbolik. Penyebaran palawija di samudera, menjadi petunjuk bagi sistem pernikahan masyarakat setempat.
Detail cerita dalam buku ini memulai daftar pengetahuan simboliknya dengan mencoba menyingkap tabir proses pertemuan lelaki dan perempuan dalam momen pernikahan sebagai salah satu sistem pengetahuan simbolik yang diteliti oleh Gibson, identifikasi matahari dan bulan pun digunakan oleh masyarakat seperti Makassar-Gowa hingga masyarakat Bugis-Luwu.
Penulis dalam hal ini mencoba membuka mata pembaca tentang kekayaan pandangan masyarakat Sulawesi Selatan terhadap hubungan laki-laki dan perempuan, hingga aspek perselisihan dan aspek magis penentuan keturunan.
Dengan menggunakan penjelasan aspek metodologis yang diterapkan oleh pengembaraan penulis dalam menelusuri tabir budaya masyarakat Bugis Makassar, buku ini terkesan ingin menunjukkan bagaimana penulis memiliki keterlibatan dan daya interaksi yang baik dengan masyarakat setempat.
Tak elok bila bercerita tentang masyarakat sebelah selatan pulau Sulawesi ini namun kita tak membahas tentang perahunya, penjelas sebagai penguasa maritim, masyarakat sebelah selatan telah mendapat pengakuan dalam kitab kisah I La Galigo, melalui epik sang tokoh utama Sawerigading, muara pembuatan perahu demi perdagangan maritim akhirnya ditemukan di sebelah selatan, pembagian tugas antara orang Ara hingga Orang Bira dalam pembuatan perahu, menyiratkan pola gotong royong yang terbangun sedari dulu oleh masyarakat di sebelah selatan.
Menariknya buku ini tidak melepas hubungan ritual dan proses pembuatan perahu yang memang dilakukan oleh para pria Ara, penyimpanan kayu hingga pengorbanan terakhir persembahan seekor kambing digambarkan sebagai salah satu maha karya simbolik masyarakat Ara.
Membahas tentang I La Galigo, walaupun awalnya Pelras menyatakan bahwa epik I La Galigo bercerita banyak tentang masyarakat bugis, sebagai pengetahuan awal yang dirujuk oleh buku ini namun analisis Christian Pelras akhirnya juga menemukan tentang keberadaan tokoh I La Galigo sebagai kembar berlainan jenis yang harus berpisah, dan akhirnya melalui Sawerigading, kini cerita itu bisa kita temukan di sepanjang pantai Sulawesi. Riwayat hidup yang dikisahkan ini, tak sedikit pun memusingkan para pembaca, bila tetap mengikutkan esensi mitos, sebagai ornamen penting dalam kisah ini.
Ada cerita tentang kejayaan namun ada pula cerita tentang pelanggaran, cerita yang juga mengaitkan kerajaan Luwu’ ini ternyata juga mengisahkan kisah pelanggaran para bangsawan yang dalam buku ini cerita itu berada di wilayah Ujung Lasoa. Pada bagian simbolik ini Gibson memberikan gambaran tentang beberapa ritual dengan maksud menghindari marabahaya bagi masyarakat setempat, selain itu ada juga beberapa ritual yang banyak terjadi di wilayah Ujung Lasoa,
Inilah bagian paling menarik dalam buku ini, buku ini tak mengikutkan tentang pembentukan beberapa daerah yang kini menjadi wilayah kabupaten di Sulawesi Selatan. Diawali dengan berdirinya kerajaan-kerajaan di sekitar Danau Tempe, buku ini mampu menyumbang banyak pengetahuan baru tentang sejarah pembagian wilayah di Sulawesi Selatan kini. Sedangkan untuk kerajaan-kerajaan pesisir Makassar yang lebih terbiasa dengan perdagangan jarak jauh, diulas didalamnya bagaimana pengaruh kerajaan Majapahit terhadap kerajaan-kerajaan tersebut.
Aspek mitos pun tetap tak dilepaskan oleh penulis dalam mengembangkan ceritanya, bahkan itu dijadikan sebgai kekayaan cerita yang tak lazim tentang pembagian wilayah yang biasanya lebih bernuansa politis. Selain itu sisi menarik pada bagian ini adalah cerita tenatang bissu’ yaitu figur androgini, pria yang berpakaian dan hidup sebagai wanita yang banyak tersebar di wilayah Bugis.
Kerajaan Gowa-Tallo juga tak terelakkan dalam bagian buku ini, peralihan dari sebuah kerajaan agraris yang bertumbuh menjadi sebuah kekaisaran maritim, menceritakan bahwa Gibson juga menemukan adanya peralihan kebudayaan simbolik pada masyarakat Sulawesi Selatan, penyatuan antara pertanian dan kegiatan melaut, mencirikan adanya pola penyatuan dua kutub ekstrim.
Masuknya VOC di wilayah ini, menjadi pemicu memunculkan ciri khas suku Makassar yang akhirnya dikenal berani dan mampu mempertontonkan keperkasaannya dalam menghadapi masa kolonial. Kisah perebutan Regalia, menjadi penjelas kemampuan pemimpin dan penghargaan masyarakat setempat terhadap pemimpinnya pula, penghargaan terhadap pemimpin pada masa inilah yang kemudian mencirikan tentang besarnya kharisma kekuasaan raja dalam memimpin rakyatnya.
Muncul pertanyaan, bagaimana dengan garis kepercayaan masyarakat setempat? Tantangan dari pemerintah kolonial tidak menjadi halangan untuk melakukan ritual pemujaan terhadap kepercayaan masyarakat, seperti di Ara dan di Tanaberu. Moral kebangsawanan terbangun dari ritual seperti ini, mengakibatkan gesekan politik pun terbangun dalam upaya mempertahankan posisi penting dalam masyarakat. Gibson menyimpulkan bahwa terdapat pengikisan pengetahuan simbolik masyarakat mengenai ritual kekuasaan ini menjadi perang politik hingga ideologi, penulis menerangkan bahwa ini disebabkan dengan masuknya pendidikan modern, jabatan pemerintahan dan sumber-sumber kesejahteraan baru ke Sulawesi Selatan. Walau demikian, ritual ini tetap mereka jalankan dengan beban yang cukup banyak baik waktu maupun sumber daya sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur mereka.
Kini sudah banyak model kekuasaan politik yang diterima di Makassar, kompleksitas itu terbentuk dari persaingan maupun penggabungan kesadaran politik antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Tidak ada lagi tatanan politik tunggal yang seperti yang ditemukan dalam kisah kekuasaan pada buku ini, buku ini mengingatkan kita bahwa dahulu pernah ditemukan model politik dengan ritual sakralnya.
Buku yang digarap dengan segenap perjuangan observasi, wawancara dan telusur pustaka ini, cenderung membahas bagian-bagian di dalamnya secara terputus, namun itu telah diklarifikasi oleh Gibson di bagian awal dan akhir buku ini, bahwa untuk memahami sebuah kesadaran berbuadaya suatu kelompok hingga cara pandangnya terhadap kekuasaan, maka diperlaukan untuk memahami terlebih dahulu tradisi-tradisi simbolik yang diterapkan. Penulis mencoba mengakumulasikan tradisi simbolik di tanah selatan melalui mitos dan ritual yang masih dilangsungkan hingga saat ini, dengan maksud membuka tabir distribusi kekuasaan tradisional masyarakat setempat.

(Taufiq Manji, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP UNHAS)

[Assikalaibineng, kamasutra versi bugis (6-selesai)]

Tribun Timur | Kamis, 22 Januari 2009 | 00:52 WITA

TEKNIK bertahan dalam persetubvuhan menjadi hal yang sangat penting dan mendapat tempat khusus dalam Assikalaibineng. Dan sekali lagi, pihak suami menjadi faktor kunci.

Kitab peretubuhan Bugis ini tahu betul bahwa pihak suami senantiasa lebih cepat menyelesaikan hubungan ketimbang perempuan. Menenangkan diri, sabar, konsentrasi, dan memulai dengan kalimat taksim amat disarankan sebelum foreplay.
Manuskrip Assikalaibineng amat mementingkan kualitas hubungan badan ketimbang frequensi atau multiorgasme. Assikalaibineng adalah ilmu menahan nafsu, melatih jiwa untuk tetap konsentrasi dan tak dikalahkan oleh hawa nafsu.

(more…)

Tribun Timur | Kamis, 22 Januari 2009 | 15:09 WITA

Makassar, Tribun – Heboh buku Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis berimbas ke Toko Buku Gramedia Panakkukang, Makassar, Kamis (22/1).

“Luar biasa. Kami baru buka toko, dalam 30 menit pertama, sudah laris 10 buku,. Hingga pukul 1 siang, sudah 20 buku,” kata Store Manager Toko Buku Gramedia Yohannes Beda kepada Tribun.

Gramedia sendiri sudah mulai memasarkan buku ini sejak dua hari lalu. Namun permintaan atas buku itu sudah terjadi sejak sepekan lalu. (more…)

[Diprediksi Jadi Best Seller di Toko Buku Gramedia Mal Panakkukang dan MaRI]

Tribun Timur |  Kamis, 22 Januari 2009 | 02:26 WITA

ANIMO warga Kota Makassar dan sejumlah daerah di Sulawesi Selatan untuk memiliki buku Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis, yang diterbitkan Ininnawa sangat tinggi. Buku karya Muhlis Hadrawi ini resmi merambah toko-toko buku di kota ini termasuk di Gramedia Mal Panakkukang dan Mal Ratu Indah (MaRI), Selasa (20/1).

“Kami sudah jual sejak kemarin (Selasa, 20/1). Baru masuk langsung laku lima belas. Kami saat ini hanya memiliki stok terbatas. Kondisi terakhirnya belum saya cek, tidak menutup kemungkinan besok (hari ini) sudah ludes,” kata Store Manager Gramedia Mal Panakkunang Yohanes Beda, Rabu (21/1). (more…)

[Oleh Supa Athana Direktur Iranian Corner Universitas Hasanuddin]

Opini | Tribun Timur | Jumat, 23 Januari 2009 | 22:53 WITA

Seks juga adalah sebuah cara untuk menjaga stabilitas kehidupan manusia. Oleh karean itu perkawinan dapat dikatakan sebagai sumber, akar, dan pusat kehidupan itu sendiri. Perkawinan adalah asal mula dari kehidupan itu sendiri secara sosial maupun individu

Assikalaibineng, buku yang ditulis oleh salah seorang dosen penuh potensi dan dedikasi di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, Muhlis Hadarawi, mengalami kesalahan semantik, desakralisasi sekaligus menunjukkan sebuah sikap inferior ketika harus diasosiasikan dengan Kamasutra.
Kesalahan semantik itu karena Kamasutra sama sekali tidak punya latar cerita yang sama maupun   latar alih bahasa dengan Assikalibeneang. Keduanya berada pada bahasa, budaya, dan tempat yang berbeda. Dari sisi mana pun tidak menunjukkan hubungan yang berkait.
Berangkat dari kesalahan semantik tersebut menimbulakn sebuah desakralisasi. Alasannya adalah; Pertama, dalam Kamasutra, yang ditulis Vatsyayana, hanya membahas seks dari segi aktivitas fisik, emosi, karakter, dan perasaan pasangan, serta aturan-aturan lainnya. Dan ia tidak sampai pada pembahasan adanya hubungan keterlibatan Tuhan dalam setiap hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan suami istri.
Bagi saya, Assikalibeneang jauh lebih detail, kompleks, real pembasaannya ketimbang Kamasutra. Assikalaibineang sebuah konsep tatacara melakukan hubungan badan antara suami isteri yang lebih lengkap dan lebih realistis sekaligus lebih sakral dan mulia dibandingkan dengan konsep Kamasutra.
Assikalaibineang sangat jelas menunjukkan “keterlibatan” Tuhan pada hubungan badan suami istri. Ia dilakukan harus dalam keadaan berwudhu, setelah itu  membaca surah al-ikhlas tiga kali, kemudian memulai permainan dan pada setiap perubahan gerakan permainan dan mengkonsentrasikan ciuman pada bagian tertentu dari tubuh istri harus selalu diiringi pula dengan doa, hingga bila air mani keluar dianjurkan untuk bertakbir sebanyak 4 kali (Hal.91-95).
Dalam rangka melibatkan dan menyatukan diri dengan Tuhan lewat hubungan sekseual tersebut ia memakai ilmu pengetahuan dari Baginda Ali ketika dia akan berhubungan Fatimah (hal.99).
Menjadikan Ali sebagai rujukan ilmu memang sesuatu yang niscaya bagi yang mengaku sebagai umat Muhammad karena Nabi Muhammad SAWsendiri bersabda:”Ana Madinatul ‘ilm wa Aliun Babuha (Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya). Jadi sangat tepat memang bila dalam tradisi keilmuan masyarakat Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja merujukkan keilmuanya kepada Ali bin Abi Thalib. Berdasarkan hadis,  bila ingin masuk dalam kota ilmu maka adalah tindakan yang sopan dan santun  harus masuk lewat pintu gerbangnya. Selain itu tercela.

Ruh Suci
Ketika hendak memulai hubungan badan sangat dianjurkan berwasilah kepada Ali dan Fatimah demi mendapatkan keberkahan, kesempurnaan, kepuasaan dan kenikmatan puncak. “Jika kamu dan istrimu berhubungan pertama kali tafakkur-lah lebih dahulu/tatapkanlah mata hatimu, lihatlah dirimu Alif dan lihat huuf Ba istrimu/Kemudian peganglah lengannya lalu ucapkan salam berbunyi/Assalamu alikum, Ali memegang, Fatimah dipegang/. (Hal.100).
Dalam konteks ini, hubungan seksual tidak akan mencapai puncak pemaknaan dan kenikmatan   ketika tidak melibatkan ruh suci tersebut. Artinya sakralitas hubungan ibadah seksual tidak akan sampai pada puncak kemakrifatan dan kenikmatan yang haikiki dalam memahami kenikmatian surgawi bila tidak melalui pintu Ali dan fatimah.
Spiritual hubungan ibadah seksualitas akan tertolak secara ruhaniah bila tidak berpegang kepada Ali. Ini salah satu pemaknaan terhadap sabda nabi: “Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka yang berharga: Al Quran dan ‘Itrahku, Ahlul baitku. Jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan tersesat sesudahku. Maka janganlah kalian mendahului keduanya sehingga kalian binasa, jangan menganggap enteng keduanya sehingga kalian binasa, dan jangan mengajari mereka karena mereka lebih tahu dari kalian.”
Siapakah Ahlul Bait Nabi? Dalam ayat:”Katakan hai Muhammad: ‘Aku tidak meminta upah kepada kalian dalam dakwah ini kecuali kecintaan kepada Ahlul Bait-ku (keluargaku)’.” (Surat Asy-Syura:23). Ayat ini diperjelas oleh hadis Nabi saw yang terdapat dalam kitab Hilyatul Awliya’, jilid 3 halaman 201 disebutkan: Jabir Al-Anshari berkata: Pada suatu hari orang badui datang kepada Nabi saw, lalu ia berkata: Wahai Muhammad, jelaskan kepadaku tentang Islam!
Rasulullah SAW bersabda: “Bersaksilah kamu sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.” Kemudian orang Badui itu bertanya: Apakah dalam hal ini (dakwah ini) kamu meminta upah padaku? Rasulullah saw menjawab: “Tidak, kecuali kecintaan kepada keluargaku.”
Selanjutnya orang badui itu berkata: Sekarang aku berbaiat kepadamu, dan semoga Allah melaknat orang yang tidak mencintaimu dan keluargamu. Rasulullah saw menjawab: “Amin.” Ayat ini diperjelas lagi oleh tafsir Ad-Durrul Mantsur, Jalaluddin As-Suyuthi, tentang ayat ini: As-Suyuthi mengutip suatu hadis yangbersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ketika ayat ini (Asy-Syura: 23) turun, para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulallah, siapakah dari keluargamu yang wajib dicintai oleh kami? Rasulullah saw menjawab: “Ali, Fatimah, Hasan dan Husein.”

Mula Kehidupan
Tujuan perkawinan selain adanya keinginan untuk melanjutkan generasi juga untuk menyalurkan kebutuhan naluri libido manusia, sebagaimana naluri lapar untuk makan dan haus untuk minum- demi menjaga dan mengembangkan kesehatan dan kemampuan baik fisik dan ruhaniah manusia.
Dengan kata lain, seks juga adalah sebuah cara untuk menjaga stabilitas kehidupan manusia. Oleh karean itu perkawinan dapat dikatakan sebagai sumber, akar, dan pusat kehidupan itu sendiri. Perkawinan adalah asal mula dari kehidupan itu sendiri secara sosial maupun individu. Sebagaimana manusia sekarang ini karena adanya hubungan seksual yang dilakukan oleh nenek moyang umat manusia: Adam dan hawa.
Tidak berlebihan bila menyebut nama Ahlul Bait untuk tujuan keberkahan tersebut sebab Nabi Adam saja mengalami kembali proses pemulihan spiritual tatkala ia menyebut nama Ali. Dalam buku ‘Dari Adam AS Hingga Isa AS’ disebutkan setelah Adam melakukan dosa, dia berdoa,”Wahai Tuhanku, Aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan Muhammad, Ali, Fatimah, al-Hasan, al-Husain ampunilah daku,’ Allah pun mengampuniya dengan tawassul ini.
Itulah yang disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla:Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya(QS.al-Baqarah:37). Setelah Adam turun ke bumi dia membuat cincin dan mengukir padanya:’Muhammad Rasulullah wa ‘Aliyyun Amirul Mu’minin. Akhrnya Adam diberi gelar dengan Abu Muhammad.(hal-121)
Begitu mendalamnya pengaruh konsep Islama yang menempatkan Ali sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam Islam sekaligus sebagai wasilah yang menyelamatkan dan menghubungkan dengan Tuhan dalam tradisi keagamaan dan keberislaman pada suku-suku di Sulawesi (terutama suku Bugis-Makassar) sehingga momentum hubungan seksual yang paling pribadi sekalipun nama Ali dan Fatimah harus disebut-sebut. Dan konsep keberislaman yang memberikan penekanan terhadap Ali dan Fatimah, setelah Rasululah tentu saja, pada seluruh fragmen kehidupan manusia  adalah konsep Islam di negeri Ahmadinejad: Republik Islam Iran.

Pemikiran Islam
Ada lagi, dalam buku Hadrawi ini, yang mengusung konsep kemanunggalan antara Allah, Rasulullah, Ali dan Fatimah. Perhatikan kalimat berikut:” Allah Taala mabbarattemu Muhamma’ mappenedding Ali mappugau Patima ttarimai(hal.68)(Allah Taala yang bersetubuh, Muhammad yang merasakan, Ali yang berbuat, Fatimah yang menerimanya)(hal.101).
Antara Allah, Rasulullah, Ali dan Fatimah adalah sebuah kemanunggalan atau dalam istilah tasawwuf disebut Wahdatul Wujud. Pengertian sederhana wahdatul wujud adalah bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Ada pun guru besar pertama konsep wahdatul wujud adalah Husain Ibn Mansyur al-Hallaj, yang kesohor dengan sebutan al-Hallaj, sufi Persia lahir pada 26 Maret 866M. Konsep wahdatul wujud itu bersumber dan berkembang dari tradisi pemikiran Islam Persia.
Kemudian . Di Indonesia tokoh-tokohnya; Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Abdurrauf Singkel, Yusuf Al-Makasari, Abdul Muhyi Pamijahan, Muhammad Nafis Al-Banjari, Abdusshamad Al-Falimbani, Muhammad Arsyad Al-Banjari, Ronggowarsito, Haji Hasan Mustafa, Syekh Siti Jenar, dan lain-lain.
Sementara disebutkan bahwa Sayid Jamaluddin Kubra Al-Husein adalah kakek dari Wali songo di tanah Jawa, yang kelahiran Samarkhand, Persia datang ke tanah bugis, Tosora-Wajo (lihat, Martin Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning dan Pesantren, 1995, Mizan-Bandung.). Ada pun tahun kedatangannya banyak versi, tapi umumnya menyebutkan seputar tahun 1300-an.
Bandingkan dengan kedatangan Datuk Ribandang, Daruk Patimang, dan Datuk Ditiro yang disebut-sebut penyebar Islam di Tanah Bugis-Makassar kedatangannya sekitra tahun 1600. Ada 300 tahun jarak diantara mereka. Dihubungkan dengan kata waju dalam bahasa bugis berasal dari kosa kata Persia (Lihat; Christian Pelras; Manusia Bugis), juga penamaan Belawa dari unsur ‘ba’ dan ‘alawi’ yang berarti bersama keluarga nabi (hasil wawancara penulis dengan Ustad Nasir Taraweh dan Ustad Ambo Tang).
Dengan pemaparan diatas maka sebagai kesimpulan bahwa yang mengajarkan konsep Assikalaibineng adalah muslim dari negri Persia.***

Tribun Timur | Jumat, 23 Januari 2009 | 01:12 WITA

Buku Assikalaibineng bukalah Herry Potter. Penulisnya pun bukan JK Rowling, namun Muhlias Hadrawi, seorang pria Bugis yang baru saja merampungkan pendidikan magisternya (S2) di Universitas Indonesia (UI).

Namun buku yang mengulas persetubuhan cara Bugis ini mampu “menyihir”.  Heboh buku Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis juga berimbas ke Toko Buku Gramedia Panakkukang, Makassar, Kamis (22/1).
“Luar biasa. Kami baru buka toko, dalam 30 menit pertama, sudah laris 10 buku,. Hingga pukul 13.00 wita, sudah 20 buku yang terjual,” kata Store Manager Toko Buku Gramedia Yohannes Beda kepada Tribun. (more…)

Segera Terbit:

http://i78.photobucket.com/albums/j84/soeroen/PenerbitIninnawa.jpg

Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan

Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan
Roger Tol, Kees van Dijk, dan G Acciaioli (ed.)
Ininnawa & KITLV Jakarta
Februari 2009
vii + 376 halaman

Beragam citra dan stereotip yang tersebar luas ditujukan untuk orang Bugis, Makassar, juga suku-suku lain di Sulawesi Selatan, dan banyak di antaranya yang berlawanan satu sama lain. Penduduk Sulawesi Selatan dilukiskan sebagai pelaut yang berani, perantau yang lihai, bangsawan feodal dan para pengikutnya, penganut paham kebebasan demokratis yang hanya mengakui pemerintahan yang dibentuk berdasarkan kontrak sosial, pemeluk agama Islam yang fanatik, pemuja benda-benda pusaka kerajaan tradisional dan pelaksana upacara-upacara ritual bagi para leluhur dan dewa yang turun ke bumi. (more…)