SERI SEJARAH, KEBUDAYAAN,

DAN SENI SULAWESI SELATAN

| Makassar Nol Kilometer| Media Kajian Sulawesi (MKS) & Penerbit Ininnawa | Anwar J Rachman, M Aan Mansyur & Nurhady Sirimorok (Editor) | Oktober 2005 | 375 halaman |Rp45.000,- |

Kota adalah sebuah wujud kejujuran modernitas. Di dalamnya terdapat timpah-menimpah antara tabiat modal yang buta-ruang, siasat terhadap ruang yang ada agar modal tetap langgeng, dan cara masyarakatnya menghadapi hidup dengan ruang yang terbatas.

Lantaran itulah, Makassar Nol Kilometer lahir. Buku berisi 49 tulisan yang dihasilkan 15 penulis muda (sebagiannya masih mahasiswa) ini memotret fenomena [kejadian yang lambat laun menjadi sesuatu yang rutin] seperti iringan mayat atau perang antar-kelompok, komunitas [kelompok masyarakat di Makassar yang memiliki sifat khusus] seperti waria di Lapangan Karebosi sampai suporter PSM, ruang [penanda kota atau ruang publik] seperti Lapangan Karebosi dan Fort Roterdam, dan kuliner [jajanan yang biasa ditawarkan di Makassar] seperti coto atau sarabba.

Buku pertama yang memotret warga Kota Makassar kontemporer lengkap dengan karnaval budayanya, seperti merayakannya di alun-alun; di titik nol kilometer. Sebuah buku untuk mereka yang ingin tahu budaya-pop Makassar dan sekitarnya.

| Perempuan yang Mencintai Still Got the Blues | Kumpulan Cerita Pendek | Rahmat Hidayat | Penerbit Ininnawa & Penerbit Kampus Identitas| Juni 2005 | 222 halaman | Harga Rp25.000,- |

Buku ini berisi 20 cerita pendek Rahmat Hidayat (RH), cerpenis berbakat Makassar. Penulis kelahiran Bone 29 tahun silam ini banyak menceritakan perempuan yang dipojokkan oleh nasib buruk. Pengalirannya mengalir deras dengan kalimat-kalimat yang mampu memunculkan imagery yang terang. Dialog-dialognya, kata Ketua Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) Aslan Abidin, bukan hanya jadi ‘narasi’ yang mengalirkan alur cerita, tapi juga merupakan cara efektif dalam menyampaikan karakter tokoh, dan terpenting; menjadi pemicu untuk membuat sentakan ending yang mengejutkan.

Kekuatan inilah tampaknya yang diandalkan oleh penulis yang tengah merampungkan studi dokter mudanya di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar ini. Menurut Hendragunawan S Thayf, kekuatan RH terletak pada penyelesaian yang kuat dan memikat. Juga pada penguasaan teknik pengisahan, sesuatu yang kadang terabaikan oleh cerpenis muda kontemporer yang terlalu larut dalam lirisme suasana dan retorisme yang besar.

| Hujan Rintih-rintih | Antologi Puisi | M Aan Mansyur | Penerbit Ininnawa | Januari 2005 | 65 halaman | Harga Rp 15.000,- |

Buku bersampul biru ini memuat 44 sajak penyair M Aan Mansyur. Sebagian besar puisi di dalam buku ini adalah puisi pendek, yang mengingatkan kita pada kuatrin-kuatrin penyair-penyair Jepang.

Aan Mansyur adalah salah satu penyair muda Sulawesi Selatan yang menonjol. Karya-karya penyair kelahiran Bone 14 Januari 1979 ini pernah terpublikasi dalam beberapa antologi seperti Dian Sastro for President #2, Sajak dengan Huruf Tak Cukup, Kupu-kupu dalam Kotak Kaca, dan beberapa antologi komunal lainnya.

| Sajak dengan Huruf Tak Cukup | Kumpulan Sajak Penyair-penyair Muda Sulawesi Selatan | Penerbit Ininnawa | Januari 2005 | 143 halaman | Harga Rp 20.000,- |

Antologi ini memuat 77 sajak yang dikumpulkan dari 11 penyair muda Sulawesi Selatan adalah fragmen yang lazim dalam kesusastraan Indonesia. Namun usaha keras seperti yang dilakukan sekelompok anak muda yang suka berdiskusi dan menulis sajak itu, telah terbukti sepuluh tahun terakhir, terbukti ikut menentukan nasib kesusastraan Indonesia.

Dalam pengantar yang ditulis oleh Aslan Abidin, tiap generasi berpeluang menjadi bandul penting yang menggerakkan zamannya. Seperti telah dilakukan para penyair muda ini, setidaknya menegaskan bahwa mereka telah mengguratkan sesuatu pada masyarakatnya. Mereka mungkin akan lebih bersikeras lagi, dan akan lebih mempesona lagi.

| Kupu-kupu dalam Kotak Kaca | Kumpulan Cerpen Penulis Muda Sulawesi Selatan | Penerbit Ininnawa | Januari 2005 | 168 halaman | Rp 22.500,- |

Buku ini memuat cerita-cerita pendek dari 9 (sembilan) penulis muda Sulawesi Selatan. Dalam pengantar buku ini, Muhary Wahyu Nurba menyebut, kehadiran buku ini menjadi penting mengingat langkanya penerbitan buku seperti ini. Hal ini sekaligus memperlihatkan jumlah penulis cerpen yang sangat minim dari sekian banyak penulis sastra yang pernah lahir di Sulawesi Selatan.

Bahkan untuk sementara waktu, masih sulit menyebut siapa cerpenis Sulsel. Beberapa nama bisa disebutkan seperti: Sinansari Ecip, Muspa Edow, Aspar Paturusi, di panggung kesusastraan Indonesia lebih dikenal sebagai penulis yang telah menerbitkan roman meski mereka pun masing-masing penulis kritik, menggeluti teater dan menulis sajak. Hal ini sekaligus menjadi sinyal bahwa kesempatan untuk mencatatkan diri dalam sejarah kesusastraan khususnya cerpen masih sangat terbuka.

Dari sini, entah mengapa saya pun mulai mereka-reka, boleh jadi dengan kehadiran mereka, ini menjadi pertanda gejala awal munculnya angkatan penulis cerpen dalam dunia kesusastraan Indonesia di Sulawesi Selatan, begitu kata Muhary.

| Tragedi Minamata (Minamata Disease) | Harada Masazumi | Media Kajian Sulawesi (MKS) | Januari 2005 | Halaman 332 | Harga Rp38.500,- |

Buku ini seperti peta yang dipenuhi deskripsi mengenaskan tentang korban, tentang kekeraskepalaan pihak pabrik penyebab tragedi itu, rapuhnya ilmu kedokteran dalam memecahkan misteri penyakit Minamata, serta kekebalan dan kelambanan pemerintah dalam menghadapi persoalan masyarakat ini.

Namun di balik itu, buku ini juga berisi harapan, tekad, dan perlawanan para korban dan simpatisan, termasuk penulis buku ini, untuk memberi sedikit oase bagi penderita yang sudah terlanjur mengidap penyakit Minamata. Ratusan simpatisan dari kalangan dokter, pengacara, LSM, pers, dan organisasi masyarakat, mereka semua turun ke kancah pertarungan panjang dan melelahkan.

Di sisi lain, buku ini menjelaskan secara gamblang asal-usul terbentuknya definisi ‘Penyakit Minamata’ dan rumitnya konteks yang melatarinya. Sehingga, jika menariknya ke wilayah Indonesia berbagai spekulasi tentang pencemaran merkuri, penyakit yang diakibatkannya, dan proses perjangkitannya, dapat terurai dengan jelas. Sekaligus, membawa kita melakukan perbandingan tentang pihak-pihak mana saja yang biasanya mendukung atau menghambat usaha penuntutan hukum terhadap mereka yang dianggap bertanggungjawab, dan usaha rehabilitasi untuk para korban.

Menjadi catatan penting adalah buku ini, sejak terbit 1972 dalam edisi Bahasa Jepang, telah mengalami cetak ulang sebanyak 37 kali, dan diterjemahkan ke dalama berbagai bahasa di dunia.

Tapak-Tapak Waktu: Kebudayaan, Sejarah, dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan | Australia Indonesia Institute (AII) & Penerbit Ininnawa | Kathryn Robinson & Mukhlis PaEni (Penyunting) | Juli 2005 | 469 halaman |Rp40.000,- |

Buku ini meluruskan pandangan mengenai manusia-manusia Bugis yang sering dipresentasikan sebagai masyarakat pengelana laut yang kuat, yang dulu terlibat dalam perdagangan budak dan perompakan. Tetapi jika menilik lebih dalam sejarah mereka, ternyata hanya sedikit dari mereka yang terlibat dalam aktivitas maritim dan hampir tidak ada yang jadi perompak.

Justru Christian Pelras menyebut, masyarakat Bugis yang dikenal dengan penganut agama Islam yang taat, serta pedagang sukses yang paling siap menghadapi perubahan yang cepat. Ini dimungkinkan dengan keberadaan beberapa ciri dalam tradisi mereka yang biasanya dianggap sebagai bentuk spesifik modernitas. Ciri itu antara lain: (1) melek huruf, orang Bugis selalu memperlihatkan kecintaan mereka pada tradisi, yang tidak saja dipelihara lewat tradisi lisan, tapi juga tercatat, mungkin sejak abad ke-14, dalam berjilid-jilid naskah tulisan tangan (lontara), yang disimpan banyak keluarga di hampir seluruh desa-desa orang Bugis di Sulawesi Selatan; (2) ekonomi berorientasi pertukaran, mungkin sejak nenek moyang mereka di abad-abad awal milenium pertama. Kita bisa berspekulasi kalau kemakmuran hasil perdagangan inilah yang melahirkan peradaban awal Bugis; (3) individualisme, mobilitas sosial dimungkinkan seseorang, dalam kondisi tertentu, disamakan dengan orang dari lapisan yang lebih tinggi, misalnya melalui prestasi individual sebagai orang berani (to-warani), orang kaya (to-sugi), orang pintar atau bijaksana (to-acca), orang yang religius (to-panrita).

| Warisan Arung Palakka; Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 (The Heritage of Arung Palakka; A History of South Sulawesi in the Seventeenth Century) Cetakan Kedua| Leonard Y Andaya (Pen.) | Nurhady Sirimorok (Penerj.)| Penerbit Ininnawa & Media Kajian Sulawesi (MKS) | April 2006 | 459 halaman | Harga Rp 45.000,- |

Buku ini adalah sebuah alternatif, setidaknya ini berlaku untuk dua hal. Pertama, sebagai alternatif wacana sejarah nasional yang agaknya kini hanya berkisar pada pelurusan sejarah seputar kejadian ‘Gerakan 30 September’ dan ’11 Maret’. Pemusatan wacana seperti ini bisa saja (kembali) menenggelamkan banyak isu penting di daerah lain Indonesia yang juga memerlukan perhatian.

Kedua, sebagai alternatif bacaan bagi sejarah daerah yang kini sementara berbenah diri. Tidak sedikit isu kontroversial yang ‘gaungnya’ besar, mendapat penjelasan memadai dalam buku ini. Mulai dari perdebatan nama Makassar dan Ujung Pandang; siapakah sang pahlawan, Sultan Hasanuddin atau Arung Palakka; siapakah yang menunggangi atau ditunggangi dalam usaha penyerangan Kerajaan Gowa, Arung Palakka atau VOC? Begitu pula isu penting lainnya yang belum banyak dikenal publik seperti perbedaan konsep hukum Eropa dan Sulawesi Selatan yang punya andil besar menimbulkan konflik terbuka VOC dan Gowa. Latar belakang pribadi Arung Palakka dan Speelman yang mendorong mereka ‘menafsir ulang’ perintah Batavia, dan mengadakan serangan total ke Makassar. Apa yang terjadi pada rakyat Gowa setelah jatuhnya Somba Opu, efeknya di seluruh Nusantara dan tentang dinamika perpindahan persekutuan kerajaan-kerajaan di masa peralihan kekuasaan yang berubah secara drastis menjelang dan setelah kejatuhan ini.

| Jagad Maritim Orang Makassar | Darmawan Salman | Penerbit Ininnawa | Juli 2006 | xvi + 319 halaman | Rp. 37.000,-

Pada awalnya adalah tatanan sederhana. Tiga komunitas maritim di Sulawesi Selatan—pembuat perahu, penangkap ikan, penghuni pantai wisata—memulai ’hidupnya’ dengan tatanan pra-kapitalis, sederhana dalam struktur dan tidak rasional secara kultur.

Darmawan Salam lewat buku ini memapar bagaimana serbuan investasi, teknologi, dan manajemen mendorong perubahan di tiga komunitas ini. Bagaimana dua proses modernisasi utama: diferensiasi sosial pada aras struktural dan rasionalisasi tindakan pada poros kultural, kemudian ikut bergerak.

Di lain sisi, ikatan parton-klien yang kuat, manifestasi siri’, gelar haji, dan status sosial, telah menjadi sumber motivasi pencapaian warganya, terutama di komunitas pembuat perahu dan penangkap ikan. Tetapi tidak semua aktor bisa tiba ke lapisan yang setaraf, dengan demikian pengaruh dorongan tiga motif itu tidaklah sama.

Dengan penjelasan yang begitu detail, buku ini lalu menjelma penting sebagai panduan dan peta mutakhir memasuki jagad maritim masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya orang Makassar.

Leave a comment