[Oleh Supa Athana Direktur Iranian Corner Universitas Hasanuddin]
Opini | Tribun Timur | Jumat, 23 Januari 2009 | 22:53 WITA
Seks juga adalah sebuah cara untuk menjaga stabilitas kehidupan manusia. Oleh karean itu perkawinan dapat dikatakan sebagai sumber, akar, dan pusat kehidupan itu sendiri. Perkawinan adalah asal mula dari kehidupan itu sendiri secara sosial maupun individu
Assikalaibineng, buku yang ditulis oleh salah seorang dosen penuh potensi dan dedikasi di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, Muhlis Hadarawi, mengalami kesalahan semantik, desakralisasi sekaligus menunjukkan sebuah sikap inferior ketika harus diasosiasikan dengan Kamasutra.
Kesalahan semantik itu karena Kamasutra sama sekali tidak punya latar cerita yang sama maupun latar alih bahasa dengan Assikalibeneang. Keduanya berada pada bahasa, budaya, dan tempat yang berbeda. Dari sisi mana pun tidak menunjukkan hubungan yang berkait.
Berangkat dari kesalahan semantik tersebut menimbulakn sebuah desakralisasi. Alasannya adalah; Pertama, dalam Kamasutra, yang ditulis Vatsyayana, hanya membahas seks dari segi aktivitas fisik, emosi, karakter, dan perasaan pasangan, serta aturan-aturan lainnya. Dan ia tidak sampai pada pembahasan adanya hubungan keterlibatan Tuhan dalam setiap hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan suami istri.
Bagi saya, Assikalibeneang jauh lebih detail, kompleks, real pembasaannya ketimbang Kamasutra. Assikalaibineang sebuah konsep tatacara melakukan hubungan badan antara suami isteri yang lebih lengkap dan lebih realistis sekaligus lebih sakral dan mulia dibandingkan dengan konsep Kamasutra.
Assikalaibineang sangat jelas menunjukkan “keterlibatan” Tuhan pada hubungan badan suami istri. Ia dilakukan harus dalam keadaan berwudhu, setelah itu membaca surah al-ikhlas tiga kali, kemudian memulai permainan dan pada setiap perubahan gerakan permainan dan mengkonsentrasikan ciuman pada bagian tertentu dari tubuh istri harus selalu diiringi pula dengan doa, hingga bila air mani keluar dianjurkan untuk bertakbir sebanyak 4 kali (Hal.91-95).
Dalam rangka melibatkan dan menyatukan diri dengan Tuhan lewat hubungan sekseual tersebut ia memakai ilmu pengetahuan dari Baginda Ali ketika dia akan berhubungan Fatimah (hal.99).
Menjadikan Ali sebagai rujukan ilmu memang sesuatu yang niscaya bagi yang mengaku sebagai umat Muhammad karena Nabi Muhammad SAWsendiri bersabda:”Ana Madinatul ‘ilm wa Aliun Babuha (Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya). Jadi sangat tepat memang bila dalam tradisi keilmuan masyarakat Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja merujukkan keilmuanya kepada Ali bin Abi Thalib. Berdasarkan hadis, bila ingin masuk dalam kota ilmu maka adalah tindakan yang sopan dan santun harus masuk lewat pintu gerbangnya. Selain itu tercela.
Ruh Suci
Ketika hendak memulai hubungan badan sangat dianjurkan berwasilah kepada Ali dan Fatimah demi mendapatkan keberkahan, kesempurnaan, kepuasaan dan kenikmatan puncak. “Jika kamu dan istrimu berhubungan pertama kali tafakkur-lah lebih dahulu/tatapkanlah mata hatimu, lihatlah dirimu Alif dan lihat huuf Ba istrimu/Kemudian peganglah lengannya lalu ucapkan salam berbunyi/Assalamu alikum, Ali memegang, Fatimah dipegang/. (Hal.100).
Dalam konteks ini, hubungan seksual tidak akan mencapai puncak pemaknaan dan kenikmatan ketika tidak melibatkan ruh suci tersebut. Artinya sakralitas hubungan ibadah seksual tidak akan sampai pada puncak kemakrifatan dan kenikmatan yang haikiki dalam memahami kenikmatian surgawi bila tidak melalui pintu Ali dan fatimah.
Spiritual hubungan ibadah seksualitas akan tertolak secara ruhaniah bila tidak berpegang kepada Ali. Ini salah satu pemaknaan terhadap sabda nabi: “Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka yang berharga: Al Quran dan ‘Itrahku, Ahlul baitku. Jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan tersesat sesudahku. Maka janganlah kalian mendahului keduanya sehingga kalian binasa, jangan menganggap enteng keduanya sehingga kalian binasa, dan jangan mengajari mereka karena mereka lebih tahu dari kalian.”
Siapakah Ahlul Bait Nabi? Dalam ayat:”Katakan hai Muhammad: ‘Aku tidak meminta upah kepada kalian dalam dakwah ini kecuali kecintaan kepada Ahlul Bait-ku (keluargaku)’.” (Surat Asy-Syura:23). Ayat ini diperjelas oleh hadis Nabi saw yang terdapat dalam kitab Hilyatul Awliya’, jilid 3 halaman 201 disebutkan: Jabir Al-Anshari berkata: Pada suatu hari orang badui datang kepada Nabi saw, lalu ia berkata: Wahai Muhammad, jelaskan kepadaku tentang Islam!
Rasulullah SAW bersabda: “Bersaksilah kamu sesungguhnya tiada Tuhan kecuali Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.” Kemudian orang Badui itu bertanya: Apakah dalam hal ini (dakwah ini) kamu meminta upah padaku? Rasulullah saw menjawab: “Tidak, kecuali kecintaan kepada keluargaku.”
Selanjutnya orang badui itu berkata: Sekarang aku berbaiat kepadamu, dan semoga Allah melaknat orang yang tidak mencintaimu dan keluargamu. Rasulullah saw menjawab: “Amin.” Ayat ini diperjelas lagi oleh tafsir Ad-Durrul Mantsur, Jalaluddin As-Suyuthi, tentang ayat ini: As-Suyuthi mengutip suatu hadis yangbersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ketika ayat ini (Asy-Syura: 23) turun, para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulallah, siapakah dari keluargamu yang wajib dicintai oleh kami? Rasulullah saw menjawab: “Ali, Fatimah, Hasan dan Husein.”
Mula Kehidupan
Tujuan perkawinan selain adanya keinginan untuk melanjutkan generasi juga untuk menyalurkan kebutuhan naluri libido manusia, sebagaimana naluri lapar untuk makan dan haus untuk minum- demi menjaga dan mengembangkan kesehatan dan kemampuan baik fisik dan ruhaniah manusia.
Dengan kata lain, seks juga adalah sebuah cara untuk menjaga stabilitas kehidupan manusia. Oleh karean itu perkawinan dapat dikatakan sebagai sumber, akar, dan pusat kehidupan itu sendiri. Perkawinan adalah asal mula dari kehidupan itu sendiri secara sosial maupun individu. Sebagaimana manusia sekarang ini karena adanya hubungan seksual yang dilakukan oleh nenek moyang umat manusia: Adam dan hawa.
Tidak berlebihan bila menyebut nama Ahlul Bait untuk tujuan keberkahan tersebut sebab Nabi Adam saja mengalami kembali proses pemulihan spiritual tatkala ia menyebut nama Ali. Dalam buku ‘Dari Adam AS Hingga Isa AS’ disebutkan setelah Adam melakukan dosa, dia berdoa,”Wahai Tuhanku, Aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan Muhammad, Ali, Fatimah, al-Hasan, al-Husain ampunilah daku,’ Allah pun mengampuniya dengan tawassul ini.
Itulah yang disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla:Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya(QS.al-Baqarah:37). Setelah Adam turun ke bumi dia membuat cincin dan mengukir padanya:’Muhammad Rasulullah wa ‘Aliyyun Amirul Mu’minin. Akhrnya Adam diberi gelar dengan Abu Muhammad.(hal-121)
Begitu mendalamnya pengaruh konsep Islama yang menempatkan Ali sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam Islam sekaligus sebagai wasilah yang menyelamatkan dan menghubungkan dengan Tuhan dalam tradisi keagamaan dan keberislaman pada suku-suku di Sulawesi (terutama suku Bugis-Makassar) sehingga momentum hubungan seksual yang paling pribadi sekalipun nama Ali dan Fatimah harus disebut-sebut. Dan konsep keberislaman yang memberikan penekanan terhadap Ali dan Fatimah, setelah Rasululah tentu saja, pada seluruh fragmen kehidupan manusia adalah konsep Islam di negeri Ahmadinejad: Republik Islam Iran.
Pemikiran Islam
Ada lagi, dalam buku Hadrawi ini, yang mengusung konsep kemanunggalan antara Allah, Rasulullah, Ali dan Fatimah. Perhatikan kalimat berikut:” Allah Taala mabbarattemu Muhamma’ mappenedding Ali mappugau Patima ttarimai(hal.68)(Allah Taala yang bersetubuh, Muhammad yang merasakan, Ali yang berbuat, Fatimah yang menerimanya)(hal.101).
Antara Allah, Rasulullah, Ali dan Fatimah adalah sebuah kemanunggalan atau dalam istilah tasawwuf disebut Wahdatul Wujud. Pengertian sederhana wahdatul wujud adalah bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Ada pun guru besar pertama konsep wahdatul wujud adalah Husain Ibn Mansyur al-Hallaj, yang kesohor dengan sebutan al-Hallaj, sufi Persia lahir pada 26 Maret 866M. Konsep wahdatul wujud itu bersumber dan berkembang dari tradisi pemikiran Islam Persia.
Kemudian . Di Indonesia tokoh-tokohnya; Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Abdurrauf Singkel, Yusuf Al-Makasari, Abdul Muhyi Pamijahan, Muhammad Nafis Al-Banjari, Abdusshamad Al-Falimbani, Muhammad Arsyad Al-Banjari, Ronggowarsito, Haji Hasan Mustafa, Syekh Siti Jenar, dan lain-lain.
Sementara disebutkan bahwa Sayid Jamaluddin Kubra Al-Husein adalah kakek dari Wali songo di tanah Jawa, yang kelahiran Samarkhand, Persia datang ke tanah bugis, Tosora-Wajo (lihat, Martin Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning dan Pesantren, 1995, Mizan-Bandung.). Ada pun tahun kedatangannya banyak versi, tapi umumnya menyebutkan seputar tahun 1300-an.
Bandingkan dengan kedatangan Datuk Ribandang, Daruk Patimang, dan Datuk Ditiro yang disebut-sebut penyebar Islam di Tanah Bugis-Makassar kedatangannya sekitra tahun 1600. Ada 300 tahun jarak diantara mereka. Dihubungkan dengan kata waju dalam bahasa bugis berasal dari kosa kata Persia (Lihat; Christian Pelras; Manusia Bugis), juga penamaan Belawa dari unsur ‘ba’ dan ‘alawi’ yang berarti bersama keluarga nabi (hasil wawancara penulis dengan Ustad Nasir Taraweh dan Ustad Ambo Tang).
Dengan pemaparan diatas maka sebagai kesimpulan bahwa yang mengajarkan konsep Assikalaibineng adalah muslim dari negri Persia.***