Judul: JAGAD MARITIM: Dialektika Modernitas dan Artikulasi Kapitalisme pada Komunitas Konjo Pesisir di Sulawesi Selatan.
Penulis: Darmawan Salman
Penerbit: Ininnawa, Makassar 2006
Tebal: xvi + 319 halaman
Jika ada pertanyaan, “Kawasan pesisir apa yang paling terkenal akan budaya kebahariannya”, jawabannya adalah ujung selatan Pulau Sulawesi, yaitu Bulukumba. Dari kawasan ini pinisi khas buatan orang Ara tercipta, ada Pantai Bira yang pemandangan pasir putih dan matahari tenggelamnya memikat mata, dan ada Palari-nya, pengusaha ikan yang konon katanya kesuksesan usahanya dibayar dengan “tidak boleh meninggalkan halaman rumahnya karena dia mempunyai kontrak dengan makhluk halus“.
Buku Jagad Maritim: Dialektika Modernitas dan Artikulasi Kapitalisme pada Komunitas Konjo Pesisir di Sulawesi Selatan secara spesifik membahas tiga komponen di komunitas pelaut dan nelayan, yaitu tukang perahu, pengusaha wisata bahari, dan nelayan; di tiga desa (kelurahan) yang berbeda, yaitu: Tanalemo (Tana Beru), Bira, dan Tanah Jaya.
Kekhasan buku ini adalah tidak lagi menjadikan “pengetahuan pembuatan perahu yang unik dan tradisional” sebagai tema utama. Penulis menggunakan perspektif lain, masyarakat pesisir di Bulukumba yang menuju kehidupan industri dan penumpukan modal (kapital). Ini terlihat dari gambaran penulis tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada tradisi, kepercayaan, dan sistem lain yang ada di dalam masyarakat berorientasi laut, yaitu tukang perahu dan nelayan. Dan yang paling kentara adalah bagian industri yang murni kapitalis dan termasuk pemain baru di kawasan pantai Bulukumba dijadikan teman sejajar dari dua komponen sebelumnya, yaitu pelaku industri wisata.
Pembagian atas tiga hal tersebut (komponen dan tempat penelitian) merupakan kelebihan buku ini, di sisi lain juga menjadi kekurangan sebab buku ini begitu kaku membedakan tiga kampung (Tana Lemo, Bira, dan Tanah Jaya) sebagai pusat (sentra) tempat pembuatan perahu, daerah wisata, dan sebagai tempat pendaratan ikan; dan hanya menfokuskan pada tiga komponen tersebut (tukang perahu, pengusaha ikan, dan pengusaha wisata).
Ya memang betul bahwa Tana Lemo atau Tana Beru memang terkenal sebagai tempat pembuatan perahu. Tapi apakah di tempat tersebut tidak ada nelayan dan usaha wisata bahari? Bukankah Tana Beru dikenal sebagai salah satu lokasi utama wisata di Indonesia dalam hal kebaharian? Demikian juga ketika berbicara tentang Bira, yang diwakili oleh pembahasan tentang wisata bahari, pembahasan tentang pelaut dan nelayannya hampir tidak ada. Bukankah Bira, yang pernah dibuatkan sinetron “Lelaki dari Tanjung Bira”, lebih terkenal sebagai asal para pelaut ulung?
Yang juga perlu dikritisi dari buku ini adalah terlalu banyak (atau hampir semuanya?) menggunakan cara pandang atau pengalaman “orang-orang besar” sebagai sumber informasi tiga aspek yang dibahas. Ini terlihat pada Bab VII “Konteks Nilai dan Etos Lokal”, penulis menuliskan hasil wawancara dengan beberapa informan terpilih sebagai cerminan tiga fokus kajian. Semuanya tertulis “… Pengusaha …”. Ya, bagian-bagian ini tampak berhasil memperlihatkan ke pembaca “contoh kasus dari orang kecil menjadi orang besar”, tapi harus diakui, itu hanya satu sisi. Alangkah baiknya jika kepada pembaca juga dikemukakan suara “orang-orang biasa” di kegiatan pembuatan perahu, penangkapan ikan, dan kegiatan wisata.
Apakah tidak ada peran penyewa ban di Pantai Bira, pangga’de-ga’de yang berjejer di depan Hotel Bira Beach, para pembuat miniatur perahu, dan nelayan yang perahunya biasa disewa turis? Lalu bagaimana dengan peran pemilik “kebun” bitti (jenis kayu yang digunakan sebagai tulang gading perahu) dan para pengambil kayu (dan kuda mereka yang kuat mendaki bukit) untuk mengambil bahan baku perahu?
Buku juga menafikan peran perempuan (dalam arti tidak membahas peran-peran mereka secara mendalam), baik di komunitas tukang perahu maupun nelayan. Sekilas memang tidak ada peran perempuan dalam pembuatan perahu, tapi di balik itu cukup signifikan.
Beberapa tahun terakhir, yang masih dalam kisaran lingkup penelitian penulis Jagad Maritim (tesis 1992-1993, desertasi 1999/2000), tukang perahu bisa dikatakan tidak sepenuhnya sepanjang tahun mengerjakan perahu. Pun pesanan pembuatan perahu tidak selamanya ada. Lalu dari mana tukang perahu menghidupi keluarganya ketika tabungan hasil pembuatan perahu sudah habis? Dengan kata lain, bagaimana manajemen keuangan dalam keluarga tukang perahu? Dan apa yang dilakukan perempuan Bira untuk menghidupi dirinya ketika suaminya melaut dalam waktu lama?
Disinilah peran perempuan terlihat nyata sebagai “kepala rumah tangga”, sayangnya Jagad Maritim tidak memaparkan hal ini.
Demikian halnya dengan dinamika yang terjadi di nelayan. Memang nelayan di Tanah Jaya telah menjadi bagian dari salah satu unsur produksi hasil laut masyarakat dunia. Hasil tangkapan di laut lepas yang berorientasi ekspor telah menggerus peran perempuan di kalangan nelayan.
Walau demikian, peran mereka tidaklah sepenuhnya terlepas. Ini terlihat dari dinamika ketika nelayan baru datang melaut. Lalu siapakah yang mendistribusikan hasil tangkapan nelayan ke konsumen lokal. Apakah tidak ada hubungan antara nelayan dengan perempuan? Banyak kasus, para penjual ikan itu adalah isteri dari para nelayan. Lalu bagaimana perspektif dan keadaan mereka ketika kegiatan penangkapan ikan yang sangat mengedepankan penumpukan modal?
***
Khusus proses modernisasi dalam pembuatan perahu, pergeseran ruang normatif (hal. 72) lebih banyak membahas tentang legenda Sawerigading dan ritual. Praktek aturan teknis pembuatan perahu, malah tidak dibahas. Misalnya rumus penyusunan papan, penamaan bagian-bagian, waktu yang tepat untuk memulai pembuatan (penggunaan kutika atau rumus hari/jam baik-buruk), dan pemali-pemali. Artinya, penulis tidak mencoba untuk merasionalisasi praktek yang “tidak rasional” tersebut.
“… Selain bermakna meneruskan kebiasaan nenek moyang yang terkait dengan simbol mitos, magik dan mistik, yang dengan demikian ia tergolong tindakan tradisional; pelaksanaan upacara tersebut telah mengalami reinterpretasi, yang dengan itu bukan sekedar meneruskan kebiasaan, tetapi ada makna lain yang menjadi dasar motivasinya” (hal. 83-84).
Penulis Jagad Maritim menyimpulkan tiga motivasi mengapa tradisi praktek ritual dan mistik tetap dijalankan, pertama: sebagai tradisi yang dipercayai akan menunjang kekuatan dan keselamatan perahu; kedua, sebagai bentuk legitimasi terhadap tradisi pembuatan perahu lebih kuat; dan ketiga, sebagai tontonan wisata.
Khusus motivasi pertama, penulis menuliskan “ … meskipun kebenaran tentang hubungan antara upacara dengan kekuatan dan keselamatan perahu sulit dibuktikan” (hal. 84). Ya, kelihatannya tidak ada hubungan, tapi sebenarnya, praktek ritual dan mistik dalam pembuatan perahu adalah metafora dari siklus kehidupan manusia dan pola pergaulan sosial masyarakat. Demikian juga aturan teknis pemasangan bagian-bagian perahu yang penuh dengan pemali-pemali, tapi sebenarnya masuk akal (rasional) jika dikaji motivasi di balik itu.
Dengan kata lain, ada motivasi yang belum dikemukakan oleh penulis, bahwa beberapa praktek yang sekilas terlihat sebagai ritual-mistik, sebenarnya, adalah kontrak sosial antara pemesan dengan tukang perahu; sebenarnya aturan teknis yang bisa dibuktikan secara ilmiah.
***
Buku ini menjadi pemecah kebekuan kurangnya publikasi ilmiah mengenai kebudayaan bahari bumi panrita lopi, Bulukumba. Ya, memang sudah ada beberapa penelitian ilmiah mengenai kebudayaan bahari di Bulukumba (lihat “Catatan-catatan” di hal. 20), baik dari dalam maupun dari luar negeri, akan tetapi yang bersifat mutakhir dan mudah diakses publik, sejauh pemahaman saya, baru buku Jagad Maritim.
Dengan jeli, Jagad Maritim memperlihatkan penyebab, proses, dan motivasi transformasi perubahan masyarakat berorientasi bahari salah satu suku pelaut di Sulawesi Selatan, Suku Konjo (Sub-etnis Makassar). Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, penulis tidak terjebak lagi pada romantisme, bahwa pelaut dan tukang perahu kita mempunyai teknik pelayaran dan pembuatan perahu “tradisional”.
Itu cerita masa lalu. Sekarang pelaut tidak lagi menggunakan pinisi, kompas harus ada, dan jika tidak ada mesin, kapal tidak bisa berbuat apa-apa. Ya, pembuatan perahu seakan tak lancar bila tak ada listrik. Bunyi ketam dan bor listrik terdengar di sepanjang pantai Tana Beru. Dan beberapa perahu sudah menggunakan gambar teknis sebagai dasar bentuk perahu, setidaknya perahu pesanan orang asing.
Pengaruh dunia luar seakan tak bisa dipisahkan lagi dengan dinamika masyarakat pantai di Bulukumba, khususnya yang bergerak di kegiatan pembuatan perahu, penangkapan ikan, dan industri wisata. Harus diakui, untuk beberapa kasus, tukang perahu ditolong pesanan perahu oleh pelaku wisata dan publikasi diri dan usaha mereka di media massa dan media-media ilmiah (jurnal, monografi, dan buku), baik dalam maupun luar negeri.
Dunia kebaharian komunitas Konjo, demikian juga komunitas kebaharian lain di Sulawesi Selatan, tidak terlepas dari peranan banyak stakeholder. Tukang perahu (kepala tukang dan sawi-sawi-nya), dukun, ulama, pemilik modal, nelayan (punggawa laut dan sawi), anak-anak kecil, perempuan (isteri nelayan dan anak putri), pappalele (pedagang perantara), pemandu wisata, pedagang kaki lima, dan pemerintah setempat adalah satu kesatuan. Masing-masing memiliki sudut pandang dalam melihat perubahan yang terjadi di sekitar mereka, baik yang mereka lakoni langsung, yang mereka lihat, dan yang mereka alami.
Menfokuskan kajian pada stakeholder tertentu tidak ada salahnya, namun di sisi lain peran komponen lain hendaknya tidak terabaikan. Sejarah kecil “orang-orang biasa” seringkali terlihat biasa dan tak layak masuk koran karena bukan dia yang membuat pinisi yang berlayar ke Kanada, Madagaskar, dan tidak pernah menerima pesanan perahu dari orang asing, tapi kadangkala cerita dan kisah mereka amat mengagumkan. (p!)
*Peneliti kemaritiman, dapat dihubungi melalui email sandeqlopi@yahoo.com